Tadi malam, Kala bermimpi. Dalam mimpinya, Kala berusia lima tahun lebih muda dari Kala yang sekarang. Ia bangun dari tidur dan mendapati kedua orangtuanya berbeda dari yang terakhir ia ingat. Orangtua barunya baik sekali. Ayahnya seorang penulis, dan ibunya seorang seniman. Mereka mengobrol setiap hari dan ibunya suka menghidangkan secangkir cokelat panas dan roti tiap pagi. Sesekali Kala membaca buku-buku puisi yang ayahnya tulis dan selalu berakhir dengan kekaguman, juga menonton ibu membuat sketsa dan ilustrasi yang di matanya selalu sempurna. Sekali-sekali mereka mengajari Kala tapi dia tak pernah merasa kemampuannya berkembang. Kala merasa jauh, jauuuh sekali dari orangtuanya. Pada titik ini, melihat mereka berkarya sudah membuat Kala senang sekali. Mereka sungguh pasangan yang sempurna.
Kala menyukai orangtua barunya, tapi Kala merasa itu bukan kehidupan nyata. Entah mengapa, kehidupan nyaman dan baik-baik saja terasa tidak sesuai dengan Kala. Keluarga barunya mungkin menyenangkan, punya pekerjaan yang keren, memiliki pandangan yang sama dengan Kala, dan bisa menghargai keputusan-keputusan Kala. Namun Kala merasa mereka tidak orisinil dan ia tidak familiar dengan itu. Seharusnya hidup Kala penuh kemarahan, bukan? Bukankah seharusnya rumah terasa seperti neraka? Tidak seharusnya tiap ucapannya diterima dengan mudah, bukan? Bukankah meratap dan menangis dalam kemarahan sudah menjadi rutinitas Kala tiap malam?
Jadi di suatu sore, Kala memutuskan untuk kabur. Orangtuanya baik sekali, dan Kala merasa tidak pantas menjadi anak mereka. Kala harus mencari orangtua yang biasanya memperlakukannya dengan buruk, karena sudah sepantasnya ia diperlakukan begitu. Kala memang payah dan tidak berguna. Belum sehari penuh Kala kabur, orangtuanya yang baik mencarinya. Kala ditemukan. Orangtuanya tidak bertanya kenapa Kala pergi, juga tidak bertanya kenapa Kala menangis saat mereka temukan. Kala merasa mereka mengerti tanpa ia bicara. Mereka hanya memeluk Kala erat, dan Kala merasa asing dengan pelukan itu—namun ia menyukainya. Kala bertanya pada orangtuanya apakah kehadirannya tidak mengganggu mereka? Ibunya menjawab, mereka senang dengan kehadiran Kala di rumah mereka dan mereka menyayangi Kala. Lalu Kala menangis lagi. Ia tidak tahu kalau ternyata sebegini menyenangkannya punya keluarga yang mendukungnya penuh. Perasaan hangat dan bahagia tidak henti-hentinya mengalir. Kemudian mereka pulang ke rumah.
Seperti mimpi-mimpi lainnya, tentu saja pada akhirnya Kala benar-benar bangun dari tidur dan dihadapkan pada realita kehidupan sebenarnya. Ia bukan seorang remaja berusia 15 tahun lagi, melainkan seorang perempuan dewasa berusia 20 tahun. Kala mungkin merasa hampa, tiba-tiba kehilangan kebahagiaan yang meskipun terasa asing tapi menyenangkan baginya. Kala mungkin merasa kosong, bangun dari tidur dan mendapati ayahnya yang seorang penulis tidak ada, dan ibunya yang seorang seniman raib. Namun atas mimpi itu, Kala masih bersyukur sebab dibiarkan merasakan memiliki keluarga baik dan menyenangkan, meskipun hanya dalam mimpi.
Mungkin hanya sebatas itulah kemewahan yang bisa dimilikinya—kebahagiaan keluarga semu dalam mimpi. Keinginannya akan keluarga bahagia, selamanya akan dipisahkan mimpi dan realita, seperti tanda pisah yang memisahkan kata di kalimat sebelum ini.