Dahulu kala, di sebuah pegunungan yang dipenuhi hutan rimbun, hiduplah seekor kambing tua yang bijak. Ia dikenal suka membantu hewan lain yang kesusahan. Jika kau butuh nasihat, atau sekadar bait puisi untuk mencerahkan hari, maka dialah kambing tua yang kau cari. Kambing Tua sudah hidup lama sekali, mungkin kebaikan yang dilakukannya membuatnya berumur panjang. Tak ada satu hewanpun yang tak mengenalnya mulai dari semut, gajah sampai raja hutan. Ialah si Kambing Tua yang disegani di jagat hutan raya.

Pada siang hari yang terik, kambing tua memutuskan beristirahat di bawah pohon yang rindang. Ia telah menutup kelopak matanya dan bersiap untuk tidur saat mendengar suara langkah kaki. Ketika membuka mata, dilihatnya seekor rusa besar yang gagah! Tak hanya gagah, rusa itu bahkan memiliki tanduk emas yang cantik. Tanduk emas itu terlihat berkilauan di bawah sinar matahari. Tapi kambing tua sudah banyak melihat hal aneh dan menakjubkan sepanjang hidupnya, ia tak heran jika siang hari ini bertemu dengan rusa tanduk emas.

"Kau pasti tidak berasal dari pegunungan ini," ucap kambing tua.

"Memang bukan," Rusa tanduk emas itu mendekat ke arah kambing tua. "Aku Wisana Kumala, dan aku sudah mendengar banyak tentangmu."

"Wisana Kumala," Kambing tua terkekeh dengan suara rendah, "artinya Tanduk Emas, bukan? Nama yang bagus. Sepertinya kau memang ditakdirkan dengan tanduk emas di kepalamu itu," lanjutnya. "Jadi apa gerangan yang membawamu kemari, anak muda?"

"Perhatikan ucapanmu, Kambing Tua. Aku sudah hidup 1000 tahun." Wisana Kumala tertawa, "dan aku diutus untuk menemuimu."

Kambing Tua mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Ah, lagi-lagi makhluk abadi. Apa yang membuat Tuanmu mengutusmu untuk menemui Kambing Tua yang lemah dan tidak berdaya ini?"

"Aku sudah mendengar banyak tentangmu, Kambing Tua. Seluruh makhluk di hutan gunung inipun pasti mengamini bahwa selama hidup kau sudah berlaku baik. Kambing Tua bijak yang selalu membantu kesusahan hewan lainnya. Pintar, cerdik dan berbudi baik. Sebagian besar hidupmu kau habiskan untuk membantu sesama. Atas kebaikanmu itu, Tuanku merasa kau pantas mendapatkan kehormatan."

Kambing Tua terdiam. Dinikmatinya semilir angin yang menimpa wajahnya dalam keheningan.

"Karena itu, Kambing Tua, kedatanganku di sini bukan tanpa tujuan. Atas kuasa Tuanku, aku diutus menemuimu untuk mewujudkan satu permintaanmu. Permintaan tersebut harus personal dan tidak menyangkut kepentingan orang banyak, serta tidak bisa dilipatgandakan. Artinya, permintaan tersebut hanya akan terkabul jika permintaan tersebut tentang dirimu."

Kambing Tua menatap Wisana Kumala. "Sungguh? Aku bisa minta apa saja asal itu tentang diriku?"

Wisana Kumala mengangguk. "Ya, Kambing Tua. Kau bisa minta umur panjang, kekayaan, kebahagiaan, kecerdasan, bahkan keabadian. Aku bisa menjadikanmu hewan paling kaya di jagat hutan gunung ini." ucap Wisana Kumala. "Aku bahkan bisa memberimu banyak kambing betina yang cantik." lanjutnya sembari tertawa.

Kambing Tua tidak menanggapi lelucon Wisana Kumala. Ia terdiam cukup lama.

"Kau kelihatan tidak tertarik atau terkejut, Kambing Tua." ujar Wisana heran.

"Sejujurnya, aku memiliki satu permintaan." Kambing Tua menarik nafas panjang. "Tapi aku tidak yakin kau bisa mewujudkannya."

"Kau meremehkan kekuatan tanduk emasku?" tanya Wisana Kumala tidak terima.

"Ini bukan permintaan yang mudah, Wisana." Kambing Tua mengalihkan pandangan, kemudian memejamkan matanya hendak melanjutkan waktu istirahatnya.

"Setidaknya coba kau katakan dulu. Mungkin aku bisa membantumu, Kambing Tua." Wisana tentu saja tidak mengalah dengan mudah. Ia tidak mengerti, apa tanduk emas di kepalanya tidak cukup meyakinkan Kambing Tua tentang kekuatannya? Permintaan macam apa sih yang tidak bisa ia kabulkan?

Kambing Tua menghela napas panjang, "Sejujurnya... aku ingin mati."

Wisana Kumala terperangah. "Mati? Yang benar saja!" Sekarang ia baru percaya permintaan Kambing Tua memang gila.

"Ya, mati. Berikan aku kematian yang damai. Apa bisa kau wujudkan?"

"Tapi.... kenapa? Kulihat hidupmu baik-baik saja. Kau punya keluarga yang bahagia, reputasimu bagus, dan kau dikenal di jagat hutan ini. Aku sungguh tidak mengerti." Wisana menggelengkan kepalanya.

"Nah, mengejutkan bukan, Wisana? Bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dimengerti oleh tanduk emasmu?" Kambing Tua terkekeh.

"Tentu saja itu di luar kuasa tanduk emasku." Wisana Kumala termenung. "Jadi... kenapa?"

"Aku dikutuk, Wisana."

Wisana Kumala menyusuri tubuh Kambing Tua dari telinga hingga ujung kuku kakinya. "Tubuhmu baik-baik saja. Tidak ada penampakan badan setengah kambing setengah manusia. Jadi itu pasti kutukan yang lain."

"Untuk ukuran rusa, kau cukup lucu."

"Apa kau dikutuk hidup abadi?"

"Kau bodoh atau buta? Tidakkah kau lihat tubuhku yang tak lagi gagah?" Kambing Tua menatap Wisana Kumala, "Lagipula.... hidup abadi adalah kutukanmu."

Wisana Kumala tidak mengindahkan kalimat Kambing Tua. "Lalu? Apa kau dikutuk tidak akan menemukan cinta sejatimu kecuali kau makan apel beracun dan tertidur hingga ada yang menciummu? Itu lebih bodoh." Wisana Kumala mendengus.

"Selera humormu benar-benar rendah, Wisana."

"Satu menit lalu kau baru memujiku lucu untuk ukuran rusa dan sekarang kau menghina selera humorku." Wisana mendecih. "Kalau begitu beri aku jawaban yang benar."

Kambing Tua menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannnya. "Aku dikutuk tidak pernah puas atas semua kebaikan yang telah kulakukan selama hidupku."

Wisana Kumala terdiam cukup lama. "Aku tidak pernah tahu ada kutukan sejenis itu."

"Tidak penting mengapa dan darimana aku mendapatkannya, di masa lampau aku pernah melakukan hal yang sangat bodoh." Kambing Tua menerawang. "Bisakah kau bayangkan, Wisana? Hidup 10 tahun tanpa pernah merasa cukup puas terhadap apa yang kau lakukan?"

Wisana Kumala terpaku.

"Selama hidupku, aku tidak pernah merasa puas melakukan sesuatu. Setiap satu kebaikan selesai kulakukan, aku selalu dipenuhi rasa bersalah karena tidak melakukannya dengan sempurna. Kemudian rasa bersalah itu berusaha ku tebus dengan melakukan 10 kebaikan lainnya. Tidak pernah berhenti. Aku dihantui ketersiksaan setiap harinya karena tidak pernah merasa cukup baik."

"Itulah mengapa kau selalu membantu orang lain,"

"Kau benar. Sayangnya, sebanyak apapun aku melakukan hal baik dan berapapun banyaknya ucapan terimakasih yang ku terima, aku tidak pernah cukup puas. Hal ini bahkan juga berlaku ketika aku membuat syair atau menciptakan lagu. Aku tidak pernah merasa karyaku cukup bagus. Hasil karya yang seharusnya bisa menjadi tempat ku melepas keresahan justru membuatku terbebani. Demi Tuhan, Wisana. Aku sangat tersiksa selama ini." Kambing Tua berkata lirih.

Wisana menatap Kambing Tua prihatin.

"Jadi dapatkah kau akhiri penderitaanku? Aku ingin mati dengan damai, itu saja. Sudah cukup hidup dalam kutukan ini ku jalani."

"Tapi, Kambing Tua," Wisana menyela, "Kau bisa mengakhiri nyawamu sendiri untuk mengakhiri kutukan itu, bukan? Mengapa tidak kau lakukan?"

Kambing Tua menggeram. "Mati bunuh diri adalah mati dengan cara tidak terhormat. Aku tidak ingin meninggalkan dunia dengan penderitaan. Kau pikir setelah hidup tersiksa seperti ini, aku ingin ditemukan mati di bawah tebing dengan tubuh remuk? Tidak, Wisana. Setidaknya beri aku kematian yang damai, kematian yang terhormat."

"Aku mengerti." ucap Wisana. "Beri aku waktu untuk mempertimbangkan permintaanmu. Selama 1000 tahun aku hidup, belum pernah ku temui seseorang yang meminta kematiaan. Ini permintaan gila," tambahnya.

"Aku akan sangat berterima kasih jika kau bisa mengabulkannya, Wisana." Kambing Tua tersenyum.

Wisana Kumala berdiri dari duduknya. "Kalau begitu aku pergi dulu, Kambing Tua. Semoga kau diberikan kematian yang damai sesuai permintaanmu."

Kambing Tua mengangguk, lalu matanya mengekori kepergian Wisana dengan tanduk emasnya yang berkilauan. "Anak muda yang malang," ucapnya pelan.

Kambing Tua tahu Wisana Kumala memiliki penderitaan yang sama dengannya. Hidup dalam keabadian tentu bukanlah hal yang mudah. Sayang sekali, kutukan bukan hal yang bisa dilepaskan oleh kekuatan Tanduk Emas. Jika bisa, tentu Kambing Tua akan mengajukan permintaan untuk menghapus kutukannya. Tapi lihatlah, Wisana Kumala bahkan tidak bisa menghapus kutukannya sendiri dengan kekuatannya, maka ia juga tak akan mampu menghapus kutukan Kambing Tua. Sejujurnya Kambing Tua sudah banyak mendengar tentang legenda Adikara Wisana Kumala. Makhluk bertanduk emas itu memiliki adikara untuk mengabulkan permintaan orang-orang terpilih. Maka ketika punya kesempatan untuk dikabulkan permintaannya, Kambing Tua tak minta apapun kecuali satu: kematian yang damai. Ia sudah cukup lelah. Hidupnya sudah cukup ia jalani selama ini.

Keesokan harinya, saat matahari terbit di ufuk timur dan burung-burung mulai berkicau, Kambing Tua ditemukan mati di tempat yang sama di mana Wisana Kumala meninggalkannya. Ia mati dengan kedamaian--sesuai harapannya, Dengan tubuh yang utuh dan wajah yang teduh. Seluruh jagat hutan berduka atas kepergian Kambing Tua yang bijak dan baik hatinya. Kekuatan tanduk emas telah membawanya pergi dengan damai. Pada akhirnya, Kambing Tua telah dibebaskan dari kutukan dan penderitaannya.

Wisana Kumala memandang kerumunan hewan yang tengah bersedih dan meratapi kematian Kambing Tua dari kejauhan. Kemudian ia menghela nafas panjang, "seandainya aku juga bisa mati."



Tamat.