Sayang, ada belalang sembah hinggap di jaket merahmu. Kamu baik-baik saja? Tidak kurang suatu apapun, kan? Kuharap belalang sembah itu tidak berhasil merenggut apapun darimu, terutama senyum manismu. Sore kemarin aku memutuskan untuk mati, namun aku kembali teringat senyummu. Kupikir tidak apa hidup beberapa saat lagi demi terganggu dengan senyummu. Minggu lalu mataku buta, namun aku berjuang mati-matian untuk kembali melihat demi melihat senyummu lagi. Aku takut jadi gila. Jika aku seorang kolektor, mungkin senyummu adalah satu-satunya yang akan ku buru seumur hidup, ku awetkan, lalu kusimpan di dinding samping ranjangku. Senyummu akan menjadi hal yang pertama kali kulihat ketika aku membuka mata di pagi hari, dan kujamin hidup akan jadi seribu kali lebih indah sejak detik itu.
Sayang... tenang, aku tidak sekejam itu. Aku hanya takut kehilangan senyummu. Tiga hari yang lalu aku sudah berbicara dengan senja, supaya tidak absen menyapa senyummu setiap hari. Aku tahu kamu menyukai semburat jingga itu. Kujamin, sepanjang hidupmu, kamu tidak akan kehilangan senyummu saat senja. Warna merah jingga itu akan menghiasi harimu. Seperti ibu yang tidak pernah lupa menyiram tanaman bunga kesayangannya tiap sore. Eh.. apa bunga-bunganya sudah mekar? Tadi pagi aku pergi ke rumahmu. Jalan menuju rumahmu penuh dengan selebaran orang hilang. Lalu aku melihat anak-anak nakal sesekali melempar batu-batu ke pekarangan rumahmu. Ingin kumarahi, namun tahu apa mereka soal keindahan yang sudah dipupuk susah payah namun dihancurkan dalam sekejap mata? Terkadang, hal-hal menyenangkan membuat kita melupakan hal yang jauh lebih penting. Merusak sesuatu memang menyenangkan, tapi bukankah lebih menyenangkan melihat bunga-bunga itu bermekaran? Kulihat ibu murung sekali tadi. Lingkaran matanya gelap, dan jejak-jejak air mata belum kering dari wajahnya. Sepertinya rusaknya tanaman itu amat menghancurkan hatinya. Kudengar bunga yang rusak itu salah satu bunga kesukaanmu. Apa kamu juga sedang menangis sekarang, sayang? Meski begitu, aku tidak berani bertanya atau menghibur ibu lebih lanjut. Beberapa minggu belakangan tatapan matanya sinis sekali, sepertinya ia masih belum menerimaku sebagai pacar anak gadisnya.
Dua jam belakangan, sayang, aku kembali berkontemplasi soal senyummu. Mengingat bagaimana selama setahun ini senyummu membuatku bahagia tiada terkira. Aku rela bergantian memasak di apartemenmu demi melihat senyummu tetap muncul meski kau lelah setelah seharian bekerja. Aku menggenggam tanganmu setiap saat; sepanjang dua kali putaran kita mengelilingi Kota Tua, selama durasi film Interstellar yang kita tonton di bioskop, dan setiap kau memandang bintang-bintang dan benda langit lainnya--semua demi senyummu, sayang. Bahkan tadi aku membunuh belalang sembah yang berani-beraninya hinggap di jaket merahmu. Senyummu mungkin juga menariknya untuk mendekat. Tapi tenang sayang, tidak akan kubiarkan belalang sembah itu mengambil senyummu.
Namun satu jam kontemplasi itu membawaku sadar pada satu hal. Aku kira senyum di bibirmu itu cukup, namun ternyata tidak. Kukira senyummu itulah sumber bahagiaku. Namun ternyata senyum itu membutuhkan matamu sipitmu, hidung kecilmu, dan pipi bulatmu untuk menjadi sempurna. Aku menyesal sekali, sayang. Kamu percaya aku tidak kejam, 'kan? Aku ke kembalikan senyum yang dua minggu lalu kurobek dari wajahmu. Bangun, sayang... Sekarang wajahmu sudah utuh lagi. Tadi pagi aku mengganti bajumu dengan jaket merah kesukaanku. Aku juga bawakan setangkai bunga yang berhasil kuselamatkan dari anak-anak nakal tadi. Aku sungguh-sungguh menyesal, sayang. Aku amat menyayangimu. Aku hanya tidak ingin kehilangan senyummu. Aku benci sekali melihatmu tidak berhenti marah-marah akhir-akhir ini. Kemarahanmu menghilangkan senyum itu, dan aku tidak menyukainya. Maafkan aku, sayang...
Tolong buka matamu. Kita coba sekali lagi, ya? Aku janji akan lebih baik menjaga senyummu kali ini.
Senyum milikku.
Senyum kesayanganku.