Aku melihat tubuhmu terbaring di ranjang rumah sakit malam ini. Pucat. Kaku. Kulitmu dingin. Bola matamu tidak bergerak. Aku tidak menangis ketika menemuimu. Air mataku tidak jatuh. Aku terlalu kosong dan hampa untuk berteriak atau meratap. Ruang dalam diriku berkurang separuh, sudut-sudutnya diisi kekosongan dan dindingnya memantulkan gema. Kamu tetap tidak akan bergerak di ranjang itu, maka begitupula aku selama sisa hidupku. Kelopak matamu tak akan membuka. Lalu aku akan sibuk memperkirakan sedang berada di mana kamu saat ini. Apa kamu sedang melihat cahaya yang sangat terang? Apa ibumu menyambutmu dengan baju putih pekat? Atau justru kau sedang melihatku dengan tatapan sedih dan nanar? Aku membayangkan kau sedang tersesat dan berupaya menggapaiku, tapi yang mampu kau capai hanya ruang kosong. Aku merasa pedih membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Aku yakin kau juga pasti sedih.


Lima jam kemudian aku pulang ke rumah. Aku menemukan surat dari Emily di meja, isinya ucapan belasungkawa serta pemberitahuan bahwa ia memberiku seloyang kue. Aku tidak lapar, tapi aku memakan kue itu seperti aku belum makan dua hari. Aku memakan semuanya dengan suapan besar-besar hingga perutku penuh dan aku memuntahkannya kembali. Aku masih belum menangis. Aku terlalu sakit untuk menangis. Aku mengganti bajuku, kemudian pergi tidur. Hingga bangun esok harinya, tak satupun air mataku jatuh, tapi dadaku sesak sekali dan tubuhku berkeringat. Aku menatap fotomu yang ada di nakas. Perasaan kosong dan hampa itu kembali menyeruak, ia melekat erat dalam aliran darahku seperti parasit. Mengalir ke semua bagian tubuhku. Kehampaan itu lama-kelamaan menjadi satu kesatuan dalam jiwaku dan tak lagi terasa asing. Terasa dekat, terasa akrab.

Seminggu.
Aku tertidur di ruang tamu. Saat terbangun, aku mencoba merekam kegiatanku semenjak kau pergi. Tidak ada yang spesial, aku hanya robot yang diberi baterai. Aku melihat diriku selama seminggu masuk-keluar pintu rumah ini, mengerjakan apapun yang bisa kulakukan di luar rumah. Pergi sepagi mungkin dan pulang selarut mungkin. Apapun, asal aku menghabiskan waktu seminimal mungkin di dalam rumah. Aku tidak tahan dengan ruang-ruang kosong yang biasanya terisi kamu. Semua ruang kosong itu menggemakan suaramu, hingga aku muak dan ingin menghancurkan kepalaku. Seminggu berlalu, dan aku masih belum menangis sedikitpun.

Aku meraih earphone, kudengarkan lagu yang kau ciptakan dua bulan lalu. Itu kali pertama aku mendengar suaramu semenjak kau pergi. Suara yang nyata lewat rekaman lagu, bukan sekadar ilusi yang memenuhi kepala. Mendadak kamu terasa hidup, dan aku tidak lagi merasa sesak mengingatmu. Kecupanmu terasa hangat di dahiku, dan suaramu indah sekali menyelinap di kedua lubang telingaku. Lagu itu cantik sekali seperti tiap lariknya kau basuh dengan kasih. Aku menghirup nafas dalam-dalam, kemudian menangis. Kugigit bibirku kuat-kuat hingga tangisan itu tak mengeluarkan apapun selain air mata. Setelah sekian lamanya, aku mampu menangisimu tanpa suara.

Enam bulan.
Aku sudah menjual rumah kita. Aku tidak mampu lagi melihat jejakmu yang tertinggal di setiap senti rumah ini. Rumah ini mungkin esok akan ditempati orang lain, keluarga lain, atau mungkin dihancurkan. Mungkin puluhan taun lagi lingkungan ini sudah ramai jadi perkotaan dan tanah rumah kita menjelma jadi gedung-gedung menjulang. Aku tidak peduli, aku hanya ingin pergi. Seminggu yang lalu piano dalam rumah kita berbunyi, seperti ada benda yang jatuh menimpanya. Tidak ada barang yang jatuh, dan di rumah ini tidak ada siapapun selain aku. Terkadang aku membayangkan kamu ada di sudut-sudut rumah ini dalam wujud yang tidak terlihat. Kamu melihatku dari sudut-sudut itu setiap hari dan menunggu. Aku tidak tahu kau menunggu apa. Tapi dentum piano seminggu yang lalu adalah sinyal yang meyakinkanku untuk pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin meninggalkanmu, tapi hidup harus terus berlanjut—begitupula kematian. Kita harus bergerak, atau kita akan hancur dan lenyap bersama rumah ini.

Aku menulis surat, hal yang biasa kulakukan jika aku meninggalkan suatu tempat yang kutinggali selama jangka waktu yang lama. Surat itu kuselipkan di celah tiang kayu ruang tamu. Aku harap kau menemukannya dan membacanya. Semoga surat itu bisa membuatmu berhenti menunggu, dan kemudian membawamu pulang. Biar ia mampu menghentikan amarah dalam relungmu, juga sedih dan resah dalam dekapmu.

Karena aku mencintaimu, dan akan selalu seperti itu.



———

[terinspirasi dari film A Ghost Story]