"Hidup bahagia itu penting," katanya.
Tapi aku membenci menjadi bahagia jika sumbernya dari kamu,
sebab itu membuatku candu.

Setahun terakhir aku berhasil hidup dengan menolak segala bentuk kebahagiaan yang asalnya dari manusia, kecuali dari diriku sendiri.

Karena itu fana,
dan
aku
belum
siap
hancur
lagi.

"Tidak ada bahagia yang abadi," kataku.
Sebab senang selalu sepaket dengan sedih,
pulih selalu berpasangan dengan luka,
dan tawa selalu berdampingan dengan tangis.
Kemudian mereka akan berulang serupa siklus hidrologi yang tak pernah berhenti.

Maka detik ini, aku memutuskan untuk melawan hormon-hormon kebahagiaan yang muncul disebabkan kehadiranmu.

Aku meredam endorfin yang muncul ketika kamu tengah menenangkan kekacauanku,
aku menolak kehadiran dopamin yang muncul saat kau memujiku cantik dan bersinar,
aku enggan menyambut serotonin yang muncul ketika aku tertawa mendengar leluconmu yang sebenarnya tidak lucu,
dan aku mati-matian berperang melawan oksitosin yang tercipta ketika tangan kita saling terkait, ketika bibirmu menyentuh keningku, dan ketika tanganmu merengkuh tubuhku.

Hari ini, ku kira aku berhasil melawan hormon-hormon kebahagiaan yang disebabkan oleh kamu.
Namun ternyata aku salah, dan ini adalah jenis kekalahan yang tidak bisa aku terima.
Sebab berarti aku harus mengakui satu hal;
bahwa bersamamu aku memang sebahagia itu.

——

*Tulisan ini fiktif atas dasar pengkhianatan terhadap hari kasih sayang.