Hari ini bahkan belum tepat setahun setelah post berjudul "Pukul Sebelas, Aku Menemukan Alasan untuk Tidak Mati Hari Ini" keluar. Belum setahun umurnya, namun aku sudah merasa diriku saat itu naif dan bodoh sekali. Sebab sebulan belakangan. aku justru kembali menemukan alasan-alasan untuk mati hari ini. Alasan yang jauh lebih kuat dan menyakitkan.

Pukul 5.19 aku sedang berada di rumah saudaraku, tidak pulang dari mana-mana dan tidak habis bertemu siapa-siapa. Aku sedang tidak ingin menulis sesuatu, tapi handphone milikku sedang berada di tangan teknisi toko service yang manis dan ramah sekali. Tidak ada jaringan internet, dan semua bukuku berada di kos. Jadi aku harus melakukan sesuatu untuk membunuh waktu. Aku tidak tahu tulisan ini akan berakhir di titik mana dan rasanya seperti apa, sebab tulisan ini tidak ku tulis dalam keadaan emosional dan tidak stabil seperti biasanya. Tulisan ini ku tulis saat aku... tidak merasakan apapun. Hambar. Hambar yang akhir-akhir terasa akrab dan kunikmati.

Mengapa aku menulis ini? Ya, seperti halnya post pertama, aku takut melupakan alasan-alasan untuk mati, karena kupikir hal ini penting untuk ku tulis. Ada kalanya aku terlalu antusias dengan kehidupan dan kesenangan, hingga lupa kalau antusiasme dan kesenangan itu bisa berbalik menyakiti diriku sendiri. Kurasa memang begitu cara kerjanya, manusia memang tempatnya ekspektasi dan harapan dihancurkan. Kelak jika aku terlalu antusias dalam menjalani hidup dan hormon kebahagiaanku meluap-luap tak terkira, aku bisa membaca tulisan ini untuk menurunkan tensinya. "Hei, sayang, kamu boleh bahagia saat ini, tapi jangan terlalu banyak, ya. Sebab kebahagiaan itu candu, dan segala macam candu itu membunuh,"

Jadi mari kurincikan alasan-alasanku untuk mati hari ini. Alasan pertama: aku tidak lagi merasa takut untuk merasakan sakit. Aku baru menyadari itu akhir-akhir ini. Salah satunya, aku tidak lagi punya ketakutan berlebihan terhadap jarum suntik (terimakasih rapid test!). Aku juga tidak lagi takut hujan. Sejak SMA, aku cuma menonton di koridor sekolah ketika teman-temanku bermain hujan, sebab aku tidak suka hujan. Tapi kemarin beberapa kali aku berjalan di pinggir Kota Pasuruan saat hujan turun dan aku baik-baik saja, aku tidak berlari menghindarinya meski aku tau aku akan pusing saat sampai. Aku tidak takut merasakan sakit lagi. Aku kembali sering membayangkan bagaimana rasanya jatuh ke sungai beraliran deras dari atas jembatan dan kecelakaan-kecelakaan lainnya. Aku juga kembali melakukan kebiasaan lama, memukul kepala dan dadaku untuk mencari rasa sakit. Kadangkala aku tidak merasa itu cukup (karena kesakitan di dalamku jauh lebih banyak), dan bayangan-bayangan untuk mengiris kulit tangan sempat terlintas, namun tidak kulakukan, karena aku tidak punya silet (ku pikir orang-orang yang mengiris tangan adalah orang yang punya niat besar untuk menyakiti dirinya sendiri, dan niatku belum sebesar itu). Aku tahu itu pikiran bodoh, tapi percayalah, aku tidak pernah punya pikiran itu sebelumnya dan kemarin sempat terlintas karena.... aku cuma ingin rasa sakit itu pergi. Sakit dan sesak sekali. Sungguh, kalian tidak perlu menghubungiku ketika membaca paragraf ini, aku baik-baik saja. Aku tidak menulis ini untuk mencari perhatian, aku menulis ini untuk membebaskan diriku. Jadi... setelah semua kalimat-kalimat bodoh tadi, ku rasa aku bisa menyimpulkan kalau aku tidak lagi merasa takut untuk merasakan sakit. Aku masih ingin mati dengan damai tanpa rasa sakit, tapi sepertinya aku bisa menerima kesakitan sesaat menuju kematian asal tak lagi tersiksa dengan kesedihan dan kesakitan berlarut-larut seperti beberapa bulan terakhir.

Alasan kedua: egoku tidak lagi sebesar itu. Terimakasih untuk orang-orang yang berhasil menurunkan egoku, itu sungguh kemajuan yang baik sekali. Tapi sisi buruknya adalah, aku tidak punya ego yang harus dipertahankan. Aku tidak merasa aku harus bahagia, aku tidak merasa diriku seistimewa itu untuk kembali dipertahankan kehidupannya. Jika dulu aku punya ego tinggi untuk merasa selalu diutamakan kebahagiaannya (karena hidupnya menyedihkan sepanjang waktu), sekarang aku tidak lagi memilikinya. Tidak apa-apa aku tidak bahagia, asal aku tidak menyakiti siapapun. Asal tidak ada orang yang tersakiti lagi hanya karena harus menukarkan kebahagiannya dengan kebahagiaanku. Sebuah transaksi yang tidak adil, bukan? Begitulah. Kemudian alasan ketiga: yah, hidup memang menyebalkan sekali. Mungkin ini salah satu alasan yang paling krusial. Aku tidak lagi memiliki antusiasme dan rasa ingin tahu tinggi. Aku tidak lagi tertarik untuk menonton banyak film, atau membaca banyak buku. Sudah ku coba berulang kali, tapi aku tidak menemukan antusiasme yang tinggi seperti dulu. Film dan buku yang sudah menjadi zona nyaman kini terasa seperti tekanan. Sungguh, aku masih punya keinginan untuk belajar peradaban Yunani dan Romawi, serta menonton film-film ..........., tapi aku tidak punya cukup energi untuk itu. Aku membenci hal ini, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku juga tidak tertarik pada aurora borealis lagi, bahkan sepertinya aku akan tiada sebelum aku bisa melangkahkan kaki keluar negeri. Terimakasih Corona!

Mari kita menuju alasan keempat: Aku tidak tahu lagi apakah aku ingin hidup damai dan bahagia. Maksudku, tentu saja kehidupan damai dan bahagia adalah impian semua orang, tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mewujudkannya. Aku memperjuangkannya selama tiga tahun terakhir dan ketika aku merasa hampir mencapainya, yang ku dapat adalah kehancuran dan kesakitan lagi. Aku seperti harus melakukan semuanya dari awal, dan aku tidak tahu apa aku punya banyak energi dan kewarasan yang cukup untuk melakukannya. Aku takut aku akan kembali menemukan kesakitan-kesakitan lagi. Aku ingin memutus siklus itu, dan ku rasa caranya adalah dengan tidak berharap dan memperjuangkan apa-apa. Jadi ketika kesakitan itu kembali hadir, aku tidak lagi terkejut dan merasa hancur. Mungkin kesakitan itu akan menjadi teman dekatku sehingga ketika bertemu kembali, aku akan menyapanya dengan akrab, "Hai, sobat! Kita bertemu lagi! Menetaplah yang lama atau kalau cuma sebentar pun tidak apa-apa, aku tahu kamu akan sering berkunjung!"

Alasan kelima, alasan terakhir. Alasan paling krusial dan naif. Aku menghela napas panjang sekali sebelum menulis paragraf ini. Tenang, aku masih ingin melihat teman-temanku bahagia. Aku hanya tidak lagi menjadikan itu alasanku untuk tidak mati hari ini. Teman-temanku orang yang baik, aku ingin melihat mereka berkembang, hidup damai dan bahagia. Hanya saja, aku tidak merasa menjadi penonton mereka dapat menjadi alasanku untuk tetap hidup. Mereka bisa pergi, mereka bisa tinggal, mereka bisa hilang. Kesalahanku adalah meletakkan ekspektasi yang terlalu besar pada mereka, sehingga tanpa sadar, kekecewaan terhadap ekspektasiku yang tidak sesuai ternyata bisa menghancurkanku juga. Tidak ada yang abadi di dunia, termasuk perasaanku dan teman-temanku. Mereka bisa kecewa, mereka bisa sakit hati, mereka bisa pergi. Itu hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah ekspektasiku, sebab aku sudah merasa melakukan yang terbaik dan paling maksimal. Ketiadaan mereka kembali membuatku mempertanyakan keberhargaan diriku dan apakah aku pantas mendapatkan kebahagiaan? Sebab sejauh yang ku tahu, hubunganku dengan orang lain tidak pernah berakhir baik. Aku selalu berakhir menyakiti mereka dan itu membuatku merasa buruk. buruk sekali. Yang hancur bukan cuma ekspektasi dan hubunganku, tapi juga diriku sendiri. Sebab seperti yang sering orang bilang, kesakitan terbesar kamu dapat dari orang yang paling kamu sayang, dan aku menyayangi teman-temanku. Aku bukan tidak siap terhadap kehilangan, aku cuma tidak siap menyadari bahwa, mungkin, seberapapun usaha yang sudah kukeluarkan, aku tidak berhasil membuat mereka tinggal.

Dan jujur saja, ketika menulis ini, aku dapat melihat diriku yang masih berumur 16 tahun dalam balutan pakaian putih abu-abu mengucapkan berkali-kali, "kan, sudah kubilang juga apa. Kau ini bodoh sekali," Bodoh bodoh bodoh, ia bilang. Sudah tahu selalu gagal berhubungan dekat dengan -orang-orang sebelumnya, masih saja mencoba dan berusaha maksimal. Mungkin sudah saatnya realita membawaku kembali--aku tidak pantas merasa bahagia, dan aku tidak (atau belum) saatnya punya hubungan dekat. Hubungan dekat itu cuma akan menyakiti orang lain dan diriku sendiri, dan ku rasa itu sudah cukup. Aku tidak lagi bisa bergantung pada apapun sekarang--baik buku, film, dan manusia. Rasanya hambar sekali. Tapi ku pikir jauh lebih baik begini daripada aku menghancurkan orang lain dan diriku sendiri lagi.

Aku tidak tahu mana yang lebih dominan dalam tulisan ini— aku menemukan alasan untuk mati, atau aku merayakan kehancuran ekspektasiku dan mencecap kembali pahitnya rasa sakit yang kurasakan beberapa waktu lalu. Kupikir aku cuma ingin membebaskan diriku dari perasaan bersalah. Ekspektasiku hancur lebur dan itu tidak apa-apa, tidak ada salahnya. Tidak menjadi alasan untuk tidak lagi menyayangi teman-temanku dan tidak berharap yang terbaik untuk mereka. Apakah aku menyesal? Beberapa waktu lalu, pertanyaan itu ku jawab dengan: Ya, aku menyesal. Aku mempertanyakan apakah kebahagiaan yang kudapatkan sebanding dengan rasa sakit tak berkesudahan selama tiga bulan terakhir? Karena rasanya sakit sekali sampai di titik aku pernah berpikir seandainya aku tidak dipertemukan dengan mereka. Tapi sekarang, aku sudah tidak merasa seperti itu lagi. Bagaimanapun, mereka pernah membuatku merasa sangat bahagia (aku bahkan tidak tahu aku bisa sebahagia itu), merasa berharga dan sangat percaya diri tentang hidup. Karena itu, aku masih mendoakan mereka dengan sebaik-baiknya—karena mereka pantas mendapatkannya.

Tulisan ini sekaligus permintaan maafku karena sudah merepotkan (tapi, kalian kan juga sering merepotkanku), aku akan berusaha tidak merepotkan kedepannya. Aku menyayangi kalian, meskipun bentuknya sudah berbeda dari setahun lalu, ku harap kalian tetap menyayangiku juga (tidak berharap banyak, cuma basa basi saja, hehe).

Baiklah. Tulisan ini selesai ku tulis pukul 6.50 dan tidak ku revisi lagi kecuali kesalahan ketik. Ini tidak akan menjadi tulisan terakhirku, kok. Maksudku, karena judul tulisan ini tidak berarti aku ingin mati dalam waktu dekat. Oke, kita sudahi ya, terima kasih sebanyak-banyaknya dan selamat tinggal harapan-harapan!