23.30 WIB aku baru pulang dari bermain. Seperti biasa, dua puluh menit perjalanan pulang selalu membawaku pada pikiran-pikiran berlebihan. Malam ini pemikiran itu dibawa oleh rintik-rintik hujan, bau petrikor, dan jalanan Surakarta yang sepi.
hi
Tepat pukul sebelas aku menemukan alasan-alasan untuk tidak mati hari ini. Aku langsung menulisnya sebab pikiranku selalu bertransformasi dengan cepat, dan aku takut esok hari akan melupakan alasan-alasan itu. Kupikir hal ini penting untuk kutulis, sebab dua tiga hari lagi mungkin pikiran untuk menghilangkan eksistensi diri akan kembali hadir. Entah mengapa seberapa besarpun aku ingin menghilangkannya, pikiran itu tetap ada; serupa kanker yang terus menggerogoti otakku tanpa henti. Kelak jika pikiran itu kembali, kurasa aku bisa membaca tulisan ini untuk tetap merasa hidup.

Jadi, mari ku rincikan alasan-alasanku untuk tidak mati hari ini. Alasan pertama: Aku terlalu takut untuk merasakan sakit. Aku tidak ingin mati dengan menderita, karena sepanjang hidup aku merasa sudah menderita. Jadi kupikir, mati dengan rasa sakit yang kusebabkan sendiri itu tidak adil. Masa dengan sakit yang kurasakan selama aku hidup, aku tetap harus meninggalkan kehidupan dengan rasa sakit juga?. Alasan kedua: aku sadar kalau egoku masih terlalu besar untuk menyerah. Aku perempuan dengan ego sebesar gunung, tidak sudi mengibarkan bendera putih pada kehidupan yang seringkali mengejekku dengan jalan takdirnya. Lihat, ya, Hidup! Aku belum mau menyerah. Setidaknya, selama hampir 20 tahun ini.

Baik, lalu alasan ketiga adalah: Meskipun hidup menyebalkan, kuakui masih banyak hal yang ingin kuketahui dan cicipi. Aku masih ingin membaca minimal 30 buku, menonton minimal 100 film, dan menikmati minimal 5 serial setiap tahunnya. Aku masih ingin mencoba rock climbing (yang kemungkinan kecil terwujud karena meski nyaliku besar, tubuhku kecil sekali). Aku masih ingin mengetahui hal seluas-luasnya dan menjadi segalanya. Secara bersamaan, hidup memang memberikan penderitaan—tapi juga menawarkan kesenangan yang membuatku tidak ingin cepat-cepat pergi. Hei, aku masih ingin tahu rasanya menjadi burung atau melihat langsung dengan kedua mata cantiknya aurora borealis, tahu! Tapi untuk mencapai keinginan-keinginan pada alasan ketiga ini, kurasa aku harus menjadi kaya dulu. Nah, urusan bagaimana menjadi kaya kita pikirkan nanti, ya. Sekarang lebih mudah membayangkan jika hal-hal tadi bisa terwujud.

Mari kita menuju alasan keempat: Aku ingin hidup damai dan bahagia. Alasan ini terdengar sederhana, namun sebenarnya telah kuperjuangkan mati-matian selama dua tahun belakangan. Aku ingin damai, aku ingin pikiran-pikiran itu berhenti, aku ingin bahagia. Seperti tokoh dalam cerita yang pada akhirnya menemukan jalan dan alasan untuk tetap bahagia meskipun seribu konflik pada halaman sebelumnya membuatnya menderita. Aku ingin hidup seperti itu. Akhir yang seperti itu. Terasa utopis dan jauh sekali memang.

Alasan terakhir, yakni alasan kelima. Kali ini kalian akan menemukan alasan yang tidak egois, sebab keempat alasan sebelumnya hanya berputar pada aku dan diriku saja. Alasan kelima adalah: Aku ingin melihat teman-temanku bahagia. Aku ingin melihat mereka bertumbuh dan berkembang, melihat mereka menjadi apa yang mereka inginkan, melihat mereka memiliki kehidupan masing-masing yang damai dan bahagia. Demi alasan ini, aku rela mengorbankan keempat alasanku yang lain—meski itu terasa aneh sekali sebab biasanya aku adalah orang yang egois. Tapi teman-temanku adalah orang yang baik sekali. Karenanya aku ingin melihat mereka menikmati hidup dengan seluruhnya, meski aku tidak terlibat di dalamnya. Sebab karena mereka, akhirnya aku punya kesempatan untuk merasa.... normal.

Aku tidak tahu mana yang lebih dominan dalam tulisan ini—aku menemukan alasan untuk tidak mati, atau aku menemukan alasan untuk mensyukuri keberadaan teman-temanku. Kupikir aku hanya ingin mengapresiasi mereka dengan sepenuh-penuhnya, dan menghargai mereka dengan sebesar-besarnya. Mereka tidak perlu memperlakukanku balik seperti itu, tapi aku akan selalu mengembalikan energi yang sudah mereka berikan padaku dengan sama besarnya. Memastikan mereka selalu merasa berharga dan bahagia—karena mereka pantas mendapatkannya.

Tulisan ini sekaligus permintaan maafku karena sudah merepotkan, dan mungkin aku akan tetap merepotkan selama beberapa saat kedepan. Tapi aku tahu kalian tetap akan menyayangiku, dan aku tetap akan sayang kalian sama besarnya.

Baik, tulisan ini selesai kutulis pukul 0.33 dan tidak ku revisi lagi sebagaimana tulisan-tulisanku yang lain. Jadi sampai sini saja, ya, sebab aku tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya (kalau kuteruskan bisa-bisa aku tidak tidur sampai pagi). Terima kasih sebanyak-banyaknya!