Apa itu rumah? Bagaimana kita mendefinisikan rumah? Senandhika tidak yakin apa itu rumah. Lebih buruknya, ia tidak tahu apakah ia memilikinya. Oh, tentu saja ia memiliki tempat yang ia tinggali selama 17 tahun lamanya, tapi dia tidak merasa bahwa itu adalah rumah. Okra, temannya, pernah mengatakan rumah adalah tempat di mana kita bisa menjadi diri kita sendiri. Tempat di mana jati diri kita selalu diterima, dilindungi, dan disayangi. Tempat kita merasa paling aman dan nyaman menjadi sepenuhnya kita.
Senandhika bingung. "Tapi bagaimana kalau aku sendiri juga tidak yakin dengan jati diriku?"
Okra tidak bisa menjawab. Senandhika merutuk, sekarang urusan soal definisi rumah jadi semakin sulit karena ia tidak bisa mengidentifikasi jati dirinya. Siapa Senandhika? Bagaimanakah dirinya? Berani sumpah, jika kamu bertanya siapa Senandhika, maka kamu akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda tergantung kepada siapa kamu bertanya. Bahkan jika ada penulis yang ingin menulis cerita tentang Senandhika, akan sulit sekali mendeskripsikan bagaimana penokohannya. Hanya satu hal yang benar-benar menggambarkannya: Senandhika manipulatif.
Senandhika manipulatif sekali. Dia membiarkan semua orang bersikap seolah mengenal dan tahu tentang dirinya, meski sebenarnya Senandhika-lah yang menentukan citra yang ingin ia tampilkan pada setiap orang. Tidak ada yang benar-benar mengenalnya–bahkan Senandhika sendiri. Ia terbiasa jadi apa saja, ia terbiasa jadi siapa saja. Senandhika adalah malaikat, Senandhika juga adalah iblis. Senandhika penurut dan suka menolong, namun juga pembangkang ulung. Segala hal yang ada pada dirinya kontradiktif. Ini seperti Mikael dan Lucifer yang melebur jadi satu, kemudian tercipta Senandhika.
Senandhika tidak yakin mengenai jati dirinya, sebab ia terbiasa jadi segalanya. Di tempatnya tinggal, ia terbiasa menjadi anak yang penurut jika tidak ingin kena pukul. Terlebih, ayahnya yang seorang Ketua Dusun seringkali mencekokinya dengan gagasan bodoh soal semesta dan dunia yang akan aman jika berada di tangan yang benar, dan tangan yang benar yang ditakdirkan tersebut adalah tangan ayahnya. Senandhika tahu itu bodoh, sebab ayahnya berambisi menjadi penguasa yang lebih besar dan ingin Senandhika mengikuti jejaknya. Senandhika tidak ingin mengikuti jejak ayahnya, dia tahu ayahnya diam-diam mengambil uang milik penduduk untuk dirinya sendiri. Senandhika tidak tertarik pada harta dan kekuasaan. Tapi demi kebaikan, ia mengangguk saja. "Aku akan jadi seperti ayah!" katanya. Sebab hanya dengan begitu ia dapat selamat dari cambukan dan tidak mendengar gagasan ayahnya lebih lama.
Intinya, Senandhika tidak punya rumah–juga tidak punya jati diri. Baru kali ini ia sadar kalau hidupnya kacau sekali. Bisa dibilang ia juga tidak punya teman. Oh, tentu saja yang benar-benar teman. Jangan salah, semua orang mengenal Senandhika. Mendapatkan teman mudah sekali, sebenarnya. Ia tinggal menampilkan sisi baik dirinya; dan orang-orang akan mengerubunginya seperti lalat mengerubungi sampah. Masalahnya, teman sesungguhnya adalah teman yang benar-benar tahu kalau Senandhika tidak hanya sisi baik atau jahat saja. Tapi itu tidak mungkin. Senandhika tidak mungkin memberi tahu kalau ia manipulatif, sering memalsukan identitas, mengadu domba pejabat desa, dan juga meniduri hampir seluruh gadis di desa sebelah kepada orang-orang yang mengenal dirinya baik dan religius. Dunia bisa kiamat kalau terjadi. Senandhika juga tidak mungkin memberi tahu kalau ia rajin sholat lima waktu, gemar bersedekah, dan jadi orang yang pertama datang saat temannya butuh bantuan. Orang yang mengenal tabiat buruknya akan bilang ia penipu.
Kadangkala supaya persoalan ini jauh lebih mudah, Senandhika ingin membuat klona dirinya sendiri. Klona itu harus punya pikiran, tingkah laku, rupa, dan memori yang sama dengannya. Menyenangkan sekali membayangkan seseorang yang sepenuhnya mengerti dirinya. Memiliki pola pikir yang sama dan juga reaksi yang sama atas sesuatu. Klona itu tidak akan bertanya motif dari setiap perbuatan yang ia lakukan, dan tidak akan bertanya-tanya tentang peran yang ia lakoni. Klona itu pasti mengerti! Karena ia sama. Persis. Seperti pinang dibelah dua. Untuk setiap senti kehidupannya, Senandhika yakin Klona itu akan bilang: "Hidup ini memang hancur dan kacau, jadi mari kita rayakan kekacauan itu!"
Senandhika tersenyum. Barangkali memang itu yang ia butuhkan. Klona yang mampu mengimbanginya. Mengerti alasan di setiap tarik napasnya. Mencintai dan menghargai segala tindak-tanduknya seperti ia mencintai dan menghargai dirinya sendiri. Mungkin kepada Klona-nya lah... kelak ia mampu menjadi dirinya sendiri. Barangkali Klona itu juga bisa menjadi rumahnya. Membuatnya merasakan nyaman dan hangatnya merasa pulang. Menjadi sepenuhnya ia. Inilah aku, Senandhika! Kau tahu diriku sebaik aku. Cintai aku! Pahami aku!
Namun Senandhika melupakan satu hal...
Bahwa Klona-nya akan memiliki sifat semanipulatif dirinya. Klonanya dapat mengelabuinya sebaik dia mengelabui orang lain. Menipunya selihai ia menipu orang lain. Senandhika lengah. Sebab sang Klona yang mengetahui seluruhnya, berarti juga dapat mengetahui titik kelemahannya. Dikalahkan oleh Klonanya sendiri mungkin adalah harga yang harus ia bayar. Sebab tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk berharap ada seseorang yang sepenuhnya mengerti, namun melupakan kemungkinan ia dapat mengkhianati.
Atau.. memiliki seseorang yang sepenuhnya mengerti namun punya kemungkinan untuk mengkhianati kita merupakan harga yang pantas?