Ini kali kesekian aku menyentuh laman ini. Satu tahun belakangan, aku mencoba untuk menulis dan selalu gagal. Aku merasa aku sudah tidak pantas untuk menulis. Idealismeku tentang menulis sudah kutanggalkan berbulan-bulan lalu, dan aku tidak berniat untuk kembali sama sekali. Kupikir, aku sudah tidak membutuhknnya lagi karena aku sudah punya teman untuk berkeluh kesah. Teman nyata, bukan lagi imajiner. Tapi, yah.. toh aku tetap kembali.

"Mengapa kau kembali?", mungkin adalah pertanyaann Niskala dan Abhi setelah kutelantarkan satu tahun tanpa asupan nutrisi dan cairan. Bedebah, aku bahkan sudah tidak sanggup lagi menciptakan dunia imajinasi yang dua tahun lalu dengan penuh harapan kuciptakan.. Niskala dan Abhi itu tidak ada, fana, hanya omongkosong yang kuciptakan untuk tetap merasa hidup, dan kini aku bahkan tidak tahu apa itu hidup. Belum lagi, aku kembali menyadari kalau harapan itu mematikan. Tapi, ya, jika aku bisa menyederhanakan alasanku, maka alasanku untuk tidak menulis adalah karena aku merasa diriku adalah penulis buruk dengan diksi payah yang tidak berkembang lebih baik selama hidupnya. Tulisan-tulisan dan idealisme akan menertawaiku yang tidak pernah berubah. Penulis payah yang hanya bisa mengeluh setiap harinya lewat susunan huruf-huruf.

Aku kembali. Karena aku sadar, aku tidak akan pernah menemukan seseorang yang mengerti perasaanku kecuali tulisan-tulisanku (dan dia bukan orang). Hanya di sini aku bisa meluapkan kesedihanku dengan leluasa tanpa intervensi siapapun, tanpa ada yang bilang tapi, bagaimana, dan jika. Aku bisa meraung sepuasnya dan meletup-letup tanpa khawatir seseorang akan menghakimi mengapa aku menangis. Tidak ada yang peduli. Mereka hanya ingin tahu. Ketika aku keluar rumah dan hidup sendirian di antah berantah, aku kira aku akan menemukan tempat yang aman untuk menangis karena rumah jelas bukan salah satunya. Tapi aku tidak menemukannya. Tidak ada tempat yang aman untuk menangis dan meraung-raung sendirian untuk meratapi nasib dan masa depanku yang tidak bahagia. Aku tetap harus menggigit bibirku agar isak tangisku tidak terdengar oleh teman di sebelah kamarku, atau bahkan kalau kamar itu kosong, agar tidak terdengar oleh tetangga kosku. Aku pernah menangis di kelas, di pinggir jalan, di kamarku. Namun tidak ada tempat yang benar-benar aman untuk menangis. Tidak di kelas, di rumah, di kampus, atau di pinggir jalan sekalipun. Semakin sering aku menangis, semakin sering aku mendapatkan tatapan penghakiman bahwa aku terlihat bodoh dan aneh. Kenapa ia selalu menangis? Dia bukan orang dengan kehidupan paling sedih di dunia! Hei, dia punya rumah bagus, untuk apa bersedih? Masih banyak di luar sana orang yang tidak punya rumah dan harus menghadapi bom dari atas langit...

Sungguh, tidak ada tempat yang aman untuk menangis di dunia ini. Tidak ada. Apapun alasannya, dunia ini bukanlah tempat yang ramah untuk menangis. Tidak ada bahu dan peluk yang menerimaku, tidak akan ada tangan yang menghapus air mataku, tidak ada yang mengatakan padaku semua akan baik-baik saja, tidak ada yang merangkulku dan membiarkanku merasakan kesedihan dan kepedihanku sepenuhnya. Bahkan meski air mataku sudah mengering, kesesakan di dadaku tidak pernah hilang. Sedih, amarah, pedih, sesak, tidak ada yang pernah membantuku melalui semua itu.

Mereka hanya bilang, sedih itu butuh alasan. Mereka menghakimiku atas kesedihan berlarut yang kurasakan tanpa pernah membaginya pada siapapun. Tanpa alasan berarti. Mengapa aku harus punya alasan untuk bersedih kalau semua bagian kehidupanku adalah kepahitan? Apakah mereka pikir aku tidak pernah mau beranjak dari rasa sesak di dadaku? Aku bukan tidak mau, aku tidak pernah bisa! Sesak itu selalu datang saat aku menyisir rambutku dan menghitung seberapa banyak rambut rontok yang jatuh setiap satu sisiran. Sesak itu selalu datang saat aku aku menyusuri jalan raya dengan bus antar-kota dan mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sesak itu selalu datang bahkan tanpa aku harus menonton film dengan akhir yang menyedihkan. Saat aku menyesap yogurt kesukaanku, saat aku membereskan tempat tidurku, saat aku mengetik pekerjaanku yang tidak pernah selesai. Percayalah, andai kesedihanku bisa dihentikan hanya dengan "berusahalah lebih kuat", aku akan dengan senang hati melakukannya. Tapi aku tidak bisa. Dan kalian tidak akan pernah mengerti.

Aku hanya berharap ada sesuatu yang bisa memahami kesedihanku tanpa harus kubagi ceritanya, ada sesuatu yang bisa memelukku dan menenangkanku, berkata padaku semua akan baik-baik saja. Meski sesuatu itu tidak akan tahu alasan persisnya, ia hanya tahu kalau aku sangat sedih. Karena itu, apapun alasannya, kesedihanku pantas dirasakan. Tanpa tapi, tanpa jika, tanpa kalau. Tapi sesuatu tidak akan pernah ada. Dan satu-satunya hal yang sedikit menghiburku dari kesedihan hanyalah mimpi-mimpiku.

Kalaupun sesuatu itu tidak pernah datang... ku rasa aku hanya akan menulis. Menulis meski ku tahu tulisanku sampah, menulis meski semua kalimat yang kumuntahkan hanya membuatku tergidik mual ketika membacanya beberapa bulan kemudian, menulis meski kutahu tidak ada orang yang akan membacanya. Tapi tulisan-tulisan menerima kesedihanku, sedangkan manusia-manusia tidak. Untuk sekarang, hanya itu yang ku butuhkan sebelum aku benar-benar mati. Penerimaan atas kesedihan-kesedihanku, bahwa apapun alasannya aku berhak merasakannya. Sebab tidak ada tempat yang aman untuk menangis di dunia ini selain di lubang-lubang antara huruf p dan d, serta jarak dan jeda antara spasi dan baris-baris.